“AKU BENCI AYAHKU.....”

Cerita Kursi Roda - 19 Des 2017

“AKU BENCI AYAHKU.....”

 

Ada yang menarik lengan kananku, aku menoleh dan mendapati wajah itu tersenyum. Ada guratan disudut matanya. Dia ayahku, ayahku memang tidak sempurna. Sejak kecelakaan beberapa tahun lalu, kakinya tidak lagi berfungsi . Kini, untuk berjalan ayahku menggunakan bantuan kursi roda.

Entah mengapa, dulu aku pernah membenci ayahku sejak ayahku lumpuh. Bagiku dulu dia yang jadi penyebab “kemalanganku”. Aku terpaksa tidak melanjutkan kuliah dan terpaksa harus bekerja demi mencukupi kebutuhan ekonomi keluargaku. Aku tidak bisa seperti teman-teman sebayaku yang punya cukup waktu sepulang kuliah buat nge-Mall atau sekedar ngopi santai dicafe.

Sementara aku??? Aku harus berkutet dengan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginanku. Aku lakukan semua itu dulu karena TERPAKSA, dan itu memberikan celah pada setan untuk memupuk kebencian. Kebencian pada ayahku.

Layaknya setiap pagi kulalui, aku pergi bekerja. Ini tempat kerjaku yg baru, aku pindah kerja karena disini aku memiliki gaji yang lumayan dan jenjang karir yang menjanjikan. Aku bekerja disebuah perusahaan kontraktor yang lumayan besar. Belum genap setahun, aku dipercaya untuk mengelola sebuah proyek diluar kota. Aku menikmati pekerjaan ini karena aku tidak perlu lagi melihat wajah ayahku setiap hari. Hanya sekali atau dua kali dlm sebulan aku pulang kerumah, sekedar “SETORAN” untuk memenuhi kebutuhan rumah.

“Permisi..” nyaris berbarengan dengan suara ketukan pintu ruangan kerja mungilku yg terbuat dari triplek, yaa memang biasanya disetiap proyek selalu dibangun direksi keet sebuah tempat kecil yang mirip bedeng untuk melaksanakan  pengawasan, pengendalian pekerjaan dan pekerjaan administrasi proyek. Aku yang kebetulan sedang berdiri disamping rak buku tak jauh dari pintu segera membuka pintu. Seorang bapak tua dengan baju agak lusuh, sedikit membungkuk kepadaku. Kupersilahkan bapak tua itu masuk dan duduk. Pak Abdul, bapak tua itu memperkenalkan dirinya. Dia berrmaksud untuk melamar pekerjaan. Pak Abdul bersedia bekerja jadi apa saja, asal bisa dpt gaji untuk keluarganya. Sejenak aku tertegun, mempertimbangkan pekerjaan apa yg cocok kuberikan untuknya.

Tanpa ijasah dan hanya mengandalkan sisa tenaga yg ada pada pak Abdul, akhirnya aku hanya bisa memberikan pak abdul pekerjaan sebagai buruh kasar. Minggu ke minggu perhatianku kepada pak Abdul menjadi agak berlebih, beliau begitu gigihnya bekerja bahkan sering kutemui beliau hanya makan nasi dengan lauk tempe goreng 1 biji dengan alasan uangnya sengaja disisihkan untuk anak & istrinya dirumah. Hingga suatu ketika, saat bekerja Pak Abdul tersungkur jatuh tepat didepanku. Segera kubawa pak Abdul ke rumah sakit terdekat dan kukabari salah satu keluarganya.

“Bapak stroke bu...” Salim (16 thn) anaknya pak Abdul memberikan kabar terbaru tentang ayahnya kepadaku saat aku menjenguk pak Abdul. Kemudian Salim bercerita tentang bagaimana perjuangan ayahnya selama ini dan betapa kulihat dia menyayangi ayahnya, sejenak aku seperti kena tampar. Aku teringat ayahku dirumah..... ayah dulu pasti melakukan hal yang sama seperti yang pak Abdul lakukan. Tapi kenapa aku malah membencinya ??? Betapa durhakanya aku ??? Saat itu ingin rasanya aku segera pulang kerumah dan meminta maaf kepada ayahku.

Aku menyadari segala perjuangan yang telah ayah lakukan untuk ku. Dan aku tahu bahwa itu bukanlah hal yang mudah. Selama ini ayah telah berjuang untuk ibuku dan aku. Yang ayah inginkan hanyalah dia dapat  melihat keluarganya bahagia.

Bila bukan karena ingin membahagiakan aku, mungkin ayahku tidak akan mengalami kecelakaan dlm bekerja hingga kakinya lumpuh.

Ayahku memang bukan seorang jutawan kaya, ayahku juga bukan seorang yang terkenal didunia, ayahku bukanlah siapa-siapa, ayahku hanyalah seorang yang begitu sederhana namun menakjubkan.

Kini bagiku ayah adalah kekuatan yang menginspirasiku dlm hidup ini. Ayah tidak pernah lelah menjalani dan menerima kesulitan hidup yang menimpa dirinya.

Ada yang menarik lengan kananku, kali ini aku yang memberikan senyum untuk ayahku, segera kuraih tungkai besi yg ada dibelakang pundaknya. Seperti biasa, bila sore hari kami bersama-sama menikmati senja menguntai harapan untuk hari esok

Sambil mendorong kursi roda ayahku untuk pulang, dalam hati aku berucap “Terimakasih Yaa Rab, karena Engkau telah membukakan hatiku yang sempat tertutup oleh setan kebencian....Terimakasih karena sampai detik ini aku masih Engkau beri kesempatan untu bisa memeluk ayahku diatas kursi rodanya.”